No Black No Game
Kening dahinya segera mengkerut dan seketika ujung lidahnya menjerembat keluar seusai air hitam kopi itu bersenggama dengan lidahnya dalam rongga tak bertulang. Mirip dengan live report bunuh diri yang viral di media sosial minggu ini. "uweekkkk...kenapa pahit sekali ini"??? Sebuah pertanyaan sekaligus menjadi steatment awam dari orang-orang yg selama ini memberikan gula pada kopinya.
Ekspresi seperti itu sebenanya telah banyak berlalu lalang di depan mini bar. Bahkan, beberapa diantaranya sebelum mencicipi kopi , aku sudah bisa menebak ekpresinya. Di depan mini bar ini, berbagai macam ekspresi telah aku lihat, mulai dari mereka yg seringkali memberikan pujian terhadap segelas kopi yg mereka tegak habis sampai mereka yg seolah-olah suka tapi sebenarnya rasanya aneh. Tapi ekspresi kali ini, dari seorang gadis agak berbeda. Bukan pada gerak kinesik wajahnya yg menggeliat berantakan setelah cairan kopi itu menyerang lidahnya, tapi pada tafsirku mengenai ekspresinya. Iya, makna tanda memang tidak dapat lepas dari obyeknya, tapi kali ini saya lebih sepakat pada semantik tanda bahwa ekspresi tersebut memiliki banyak hubungan dengan realitas tanda di luar ekpresi itu.
"Begitulah dek, seringkali kopi tidak melulu mesti enak di lidah. Tapi bukankah kopi juga punya hak untuk dinikmati, apapun rasa dan tafsirnya", ujarku. "Iye kak, tapi ini pahit sekali", timpalnya kembali. Aku masih memperhatikan ekspresinya, masih dengan kening berkerut dan kali ini perubahan ada pada gerak kepala yg tidak karuan seolah-olah dengan gerak itu pahit di lidah akan segera hilang.
Aku mengambilkannya air putih, tangan kananku memegang yakin gelas terisi air putih dan menyodorkan pada gadis itu. "Ini, diminum dulu, agar sedikit menetralisir pahitnya". Gadis itu segera menyambut gelas dan segera meminumnya. Gerak kali ini, membawaku pada puluhan silam lalu ketika ibu masih ada dan dengan dua jarinya memasukkan obat demam ke mulutku. Aku agak berontak kala itu, seperti pada umumnya aku adalah anak yang menganggap minum obat itu adalah bentuk intervensi dan penjajahan nurani. Bagaimana mungkin pil sekecil itu bisa membuat demam ini turun, belum lagi pahitnya yang terasa sangat. Dan ketika obat tersebut mengalir ke kerongkongan, air putih yg telah dipersiapkan sebelumnya aku segera taguk berharap pahit obat tersebut segera menghilang. Sama persis dengan gadis di depan mini bar ini.
Hujan sedikit gerimis malam itu, bunyi-bunyi jengkrik kalah oleh tetesan hujan dari atap seng. Walau begitu, kopi tak akan berubah rasanya. Masih pahit, asam dan sedikit fruity. Aku kembali membujuk gadis itu untuk mensruput sedikit kopinya, mungkin saja percobaan kedua ini berhasil mengubah persepsinya mengenai kopi. "Tidak mau lagi saya kak, ampun..." Ujarnya, sembari kembali meneguk air putih yg ada di tangan kanannya. "Coba lagi lahhh, tak ada obat yg tak pahit dan tak ada keindahan pelangi tanpa mendung sebelumnya", sedikit gombal ala pujangga murahan dariku. Matanya mulai berkaca-kaca, dan keringat padam hidung mungilnya mulai lancang keluar perlahan. "Aghhh...tidak kak, kakak saja yg minum. Sudah cukup, aku ganti aja dengan es cokelat", begitu solusinya. Seringkali memang, banyak pelanggan disini yang memesan kembali menu berbeda setelah merasakan pahit dan asamnya kopi. Aku tidak pernah menyalahkan mereka, karena saya percaya edukasi kopi kepada mereka tidak pernah sampai dengan baik. Apa boleh buat, hegemoni kopi sachet dan warkop ala kadarnya telah begitu lama bersemayam dalam kepala mereka. Tapi, mengganti pesanan dengan menu yg bukan kopi sedikit banyak mengganggu, padahal banyak menu kopi yg menurutku lebih soft, seperti caffe latte, cappucino, coffee mocha atau kopi tarik. Tapi entahlah, gadis depan mini bar ini sudah terlanjur patah pada kesan pertama dengan kopi. Pesanan es cokelatnya memang jauh lebih manis dan lebih akrab di lidahnya. Senyumnya kembali sumringah, tak ada lagi kening berkerut dan butir-butir keringat itu telah menguap pada permukaan hidung mungilnya.
Pahit memang begitu identik dengan segala macam hal yg tidak enak. Padahal, Tuhan menciptakan banyak rasa, bukan hanya menciptakan dua rasa saja, enak dan tidak enak. Kasihan pahit yg selalu terhakimi. Begitu juga dengan hitam, seringkali sterotype hitam membawa kita pada kejahatan, kasihan hitam dihukum tanpa salah yg diperbuatnya. Dan lebih sakit serta tragis adalah kopi, tempat dimana yang terhakimi dan kejahatan menjadi satu kesatuan.
Dan es cokelat ini, menjadi pahlawan pembela kebetulan bagi mereka yang menganggap papan catur itu hanya warna putih. Padahalkan No Black No Game.
Trinarta
Kening dahinya segera mengkerut dan seketika ujung lidahnya menjerembat keluar seusai air hitam kopi itu bersenggama dengan lidahnya dalam rongga tak bertulang. Mirip dengan live report bunuh diri yang viral di media sosial minggu ini. "uweekkkk...kenapa pahit sekali ini"??? Sebuah pertanyaan sekaligus menjadi steatment awam dari orang-orang yg selama ini memberikan gula pada kopinya.
Ekspresi seperti itu sebenanya telah banyak berlalu lalang di depan mini bar. Bahkan, beberapa diantaranya sebelum mencicipi kopi , aku sudah bisa menebak ekpresinya. Di depan mini bar ini, berbagai macam ekspresi telah aku lihat, mulai dari mereka yg seringkali memberikan pujian terhadap segelas kopi yg mereka tegak habis sampai mereka yg seolah-olah suka tapi sebenarnya rasanya aneh. Tapi ekspresi kali ini, dari seorang gadis agak berbeda. Bukan pada gerak kinesik wajahnya yg menggeliat berantakan setelah cairan kopi itu menyerang lidahnya, tapi pada tafsirku mengenai ekspresinya. Iya, makna tanda memang tidak dapat lepas dari obyeknya, tapi kali ini saya lebih sepakat pada semantik tanda bahwa ekspresi tersebut memiliki banyak hubungan dengan realitas tanda di luar ekpresi itu.
"Begitulah dek, seringkali kopi tidak melulu mesti enak di lidah. Tapi bukankah kopi juga punya hak untuk dinikmati, apapun rasa dan tafsirnya", ujarku. "Iye kak, tapi ini pahit sekali", timpalnya kembali. Aku masih memperhatikan ekspresinya, masih dengan kening berkerut dan kali ini perubahan ada pada gerak kepala yg tidak karuan seolah-olah dengan gerak itu pahit di lidah akan segera hilang.
Aku mengambilkannya air putih, tangan kananku memegang yakin gelas terisi air putih dan menyodorkan pada gadis itu. "Ini, diminum dulu, agar sedikit menetralisir pahitnya". Gadis itu segera menyambut gelas dan segera meminumnya. Gerak kali ini, membawaku pada puluhan silam lalu ketika ibu masih ada dan dengan dua jarinya memasukkan obat demam ke mulutku. Aku agak berontak kala itu, seperti pada umumnya aku adalah anak yang menganggap minum obat itu adalah bentuk intervensi dan penjajahan nurani. Bagaimana mungkin pil sekecil itu bisa membuat demam ini turun, belum lagi pahitnya yang terasa sangat. Dan ketika obat tersebut mengalir ke kerongkongan, air putih yg telah dipersiapkan sebelumnya aku segera taguk berharap pahit obat tersebut segera menghilang. Sama persis dengan gadis di depan mini bar ini.
Hujan sedikit gerimis malam itu, bunyi-bunyi jengkrik kalah oleh tetesan hujan dari atap seng. Walau begitu, kopi tak akan berubah rasanya. Masih pahit, asam dan sedikit fruity. Aku kembali membujuk gadis itu untuk mensruput sedikit kopinya, mungkin saja percobaan kedua ini berhasil mengubah persepsinya mengenai kopi. "Tidak mau lagi saya kak, ampun..." Ujarnya, sembari kembali meneguk air putih yg ada di tangan kanannya. "Coba lagi lahhh, tak ada obat yg tak pahit dan tak ada keindahan pelangi tanpa mendung sebelumnya", sedikit gombal ala pujangga murahan dariku. Matanya mulai berkaca-kaca, dan keringat padam hidung mungilnya mulai lancang keluar perlahan. "Aghhh...tidak kak, kakak saja yg minum. Sudah cukup, aku ganti aja dengan es cokelat", begitu solusinya. Seringkali memang, banyak pelanggan disini yang memesan kembali menu berbeda setelah merasakan pahit dan asamnya kopi. Aku tidak pernah menyalahkan mereka, karena saya percaya edukasi kopi kepada mereka tidak pernah sampai dengan baik. Apa boleh buat, hegemoni kopi sachet dan warkop ala kadarnya telah begitu lama bersemayam dalam kepala mereka. Tapi, mengganti pesanan dengan menu yg bukan kopi sedikit banyak mengganggu, padahal banyak menu kopi yg menurutku lebih soft, seperti caffe latte, cappucino, coffee mocha atau kopi tarik. Tapi entahlah, gadis depan mini bar ini sudah terlanjur patah pada kesan pertama dengan kopi. Pesanan es cokelatnya memang jauh lebih manis dan lebih akrab di lidahnya. Senyumnya kembali sumringah, tak ada lagi kening berkerut dan butir-butir keringat itu telah menguap pada permukaan hidung mungilnya.
Pahit memang begitu identik dengan segala macam hal yg tidak enak. Padahal, Tuhan menciptakan banyak rasa, bukan hanya menciptakan dua rasa saja, enak dan tidak enak. Kasihan pahit yg selalu terhakimi. Begitu juga dengan hitam, seringkali sterotype hitam membawa kita pada kejahatan, kasihan hitam dihukum tanpa salah yg diperbuatnya. Dan lebih sakit serta tragis adalah kopi, tempat dimana yang terhakimi dan kejahatan menjadi satu kesatuan.
Dan es cokelat ini, menjadi pahlawan pembela kebetulan bagi mereka yang menganggap papan catur itu hanya warna putih. Padahalkan No Black No Game.
Trinarta
Comments
Post a Comment