Dan
seketika saja, keriuhan tanpa komando sekelompok muda penuh bara melantun
bersama vokal Iga… “Sempurna yang kau puja…Dan ayat-ayat yang kau baca…Tak kurasa berbeda…Kita bebas untuk percaya”.
Sepenggal lirik Barasuara yang berjudul Hagia berhasil membawa kebersamaan,
bagai kelompok Penta Costa pada sekolah minggu, sekelompok muda penuh bara
larut di dalamnya. Bagi mereka, musik adalah perubahan dan tanpa musik
perubahan akan terasa hambar. Begitu juga dengan sang Sufi, Nietzsche yang mengatakan bahwa, “Without
music, life would be a mistake.” Ya, tanpa musik hidup hanyalah kekeliruan,
bahkan kering. Melalui musik kita bisa dibuat bersemangat dan berbahagia,
bahkan melankolia akan masa lalu yang indah. Tidak hanya sebagai
hiburan, musik juga bisa
dijadikan media perlawanan terhadap ketidakadilan politik
dan melalui lirik-liriknya, kita
dapat melek oleh kondisi sosial-politik-budaya. Dan
Barasuara, begitu seksi melakukannya melalui lirik lagu Hagia.
Sumber : /www.google.co.id/images |
Dalam pandangan etimologi, Hagia, berasal dari bahasa Yunani dan Turki yaitu “kebijaksanaan suci” tapi dalam bahasa yang
berbeda.
Menariknya adalah, hal ini terkait pada sejarah peradaban Turki dalam konteks
keyakinan beragama. Hagia Sophia
(Ayasofya) sebuah situs arsitektur di Istanbul, Turki, yang semula adalah
gereja Kristen Ortodox di zaman Byzantine, kemudian menjadi katedral Katolik
Roma setelah jatuhnya Konstantinopel usai perang salib keempat, lalu menjadi masjid
di era kekaisaran Ottoman. Situs ini sekarang mengalami sekularisasi (dipisahkan dari agama) dan
beralih fungsi menjadi museum di masa Kemal Ataturk yang menyebutnya sebagai
tempat untuk semua manusia (a place for
all people) Sampai hari ini, Hagia Sophia tetap merupakan simbol pertemuan
Kristen, Islam dan Sekularism. Hagia Sophia sendiri berarti kebijakan suci.
Tinjauan historis ini membawa makna yang begitu mendalam pada teks Hagia, ada
kebijaksanaan, keyakinan beragama dan kesucian yang bersatu dalam satu tubuh,
yakni Tuhan.
Begitu
juga ketika kita membedah satu persatu lirik pada Hagia, dimana intersubyektivitas
dan pengaruh kesejarahan sangat kuat di dalamnya. Seperti kata “sempurna dan
puja” yang terletak pada bait pertama. ’Sempurna’
dapat dimaknai sebagai sebuah keutuhan, tiada kecacatan padanya, sedang kata ‘puja’
dikontekskan pada perilaku memberikan hormat pada sesuatu yang agung. Keutuhan
tanpa kelemahan dan keagungan merupakan beberapa sifat keTuhanan. Selain itu, beberapa kata dalam lirik
berikutnya juga dimaknai sebagai penanda sifat-sifat Tuhan. Kata ‘berbeda’
misalnya, dimaknai sebagai sesuatu yang tidak dimiliki oleh sesuatu yang
lainnya. Dalam hal ini, ‘berbeda’ menunjukkan sesuatu yang hanya satu dan tidak
dimiliki oleh yang lain dan membawa kita pada sifat kemanunggalan dan keesaan
Tuhan. Berikutnya adalah kata ‘bebas’, dimaknai sebagai sesuatu yang tidak
dipengaruhi oleh apapun itu, tidak terikat oleh siapa dan apapun dan merujuk
pada kemerdekaan yang hakiki. Dalam perspektif seperti ini, Tuhan memiliki sifat
indiependen, berdiri sendiri dan berdikari. Selanjutnya, kata ‘percaya’ yang
dimaknai sebagai perilaku atau keyaknan pada sesuatu yang benar-benar ada,
yakni eksistensi Tuhan yang tidak diragukan keberadaanNya.
Pada
bait terakhir lagu Hagia, Barasuara mempertegas eksistensi Tuhan melalui
penggalan lirik yang diambil dari Surat Mathius 6 ayat 12, “Seperti Kami Pun
Mengampuni Yang Bersalah Kepada Kami”.
Dalam keyakinan kawan-kawan Nasrani, surat Mathius 6 berbicara mengenai sifat
kasih Yesus Kristus yang direpresentasikan melalui umatnya. Dalam pandangan
ini, kata ‘kami’ merujuk pada penjewantahan Tuhan oleh berbagai umat yang kesemuanya
mengajarkan mengenai saling mengasahi dan memaafkan.
Memahami
bagaimana Barasuara merepresentasikan sifat-sifat Tuhan dalam lagu Hagia,
tentunya memberikan pertanyaan mendasar, ada apa dengan Tuhan hari ini? Dalam
pandangan analisis wacana kritis, Teun Van Dijk selalu mengaitkan teks, wacana
dengan konteks sosial yang menjadi realitas masyarakat hari ini. Tidak dapat
dipungkiri, gerakan-gerakan antitolorensi radikalisme yang berujung pada
perilaku kafir-mengkafirkan sedikit banyak mengambil ‘tugas’ Tuhan. Hal ini merupakan kritik pedas kepada mereka yang merasa paling benar dalam memeluk keyakinan, merasa
paling suci dari keyakinan lain, atau pikiran negatif lainnya mengenai
kepercayaan lain.
Ketika semua makna diatas saling dirangkaikan, maka akan
terdengar seperti “Apapun kepercayaan yang kita junjung, saling menghargailah dan berdamailah
karena Indonesia
bukan hanya milik satu agama. Dan untuk itu, otak tidak boleh tertutup rapat oleh nampan karena
jauh pada pandangan kita
kaum intoleran menebar benih kebencian.
Writed by :Obe
https://aurasmaradana.wordpress.com/2017/04/09/hagia-samakah-kita/
ReplyDeleteSilakan...