Skip to main content

Dialektika Bodong Ala Mahasiswa Tingkat Akhir


Ramai riuh bincang hangat dengan beberapa gelas kopi plastik pagi itu menandai hari ini-beberapa jam kemudian mungkin akan seperti biasanya. Negara, moralitas, agama dan etika menjadi buah bibir bincang kala itu. Negara telah lalai, lepas tangan dan seolah-olah buta dalam banyak hal, seperti lembaga pendidikan yg saat ini ibarat pabrik-pabrik penghasil produk tenaga kerja yg tunduk pada konglomerasi kapitalis, negara melegalkan PTN-BH. Moralitas juga semakin jauh dari induknya, moral. Teknologi diklaim sebagai asbabun wujud tindakan amoral, ayah menghamili anak kandung, anak menikam ibunya, ibu membunuh rahim sampai cekcok tetangga yang akhirnya menjadi perkelahian massal antar kampung. Berbeda dengan agama yang hadir dalam kemasan baru, berbungkus penistaan, agama dijadikan alat untuk memfasilitas birahi kekuasaan seseorang, kelompok atau mungkin Tuhan. Padahal, Tuhan sama sekali tidak minta dan tidak butuh untuk dibela. Lalu etika menjadi alasan mengapa sebagian dari mereka mempraktekkan budaya coboy dan barbar dalam rangka kaderisasi, alih alih mereka yg lebih duluan hadir di muka bumi selalu lebih memiliki etika.
Kopi dalam empat gelas plastik yang disruput oleh tujuh pengabdi pendidikan, memberikan sedikit spasi dalam bincang hangat itu. Sesekali ocehan dan celutukan komedi memberikan tawa pada bibir- bibir hitam maskulin. Pagi itu, cahaya mentari tidak begitu sampai di wajah-wajah hitam kami, awan-awan mendung terlebih dahulu membuat jangkar pertahanannya dengan rapi. Angin santai juga sangat lembut pagi itu, seakan belaian pelacur-pelacur Alexis yang membetahkan birahi bapak-bapak pejabat daerah. Pembicaraan terus berlanjut, kopi terus juga disruput hingga aku terus saja memainkan pulpen di jariku. Memperhatikan setiap aksara yang terangkai menjadi argumentasi lirih khas anak milenial. Mataku tak hentinya bergerak dari sudut pandang satu ke yang lainnya, maklum saja argumentasi sok ilmuan mengalir deras tanpa henti, tanpa spasi, tanpa memberikan kesempatan untuk meyelesaikannya. Hingga saatnya, dia 'Sang Penjaga' melintas dengan tas samping bertuliskan 4:20, band indie yang sedang hits saat ini, ditangan satunya setumpuk berkas administrasi persyaratan gelar sarjana terlihat lusuh. Langkahnya teratur seperti paskibra tapi tidak kaku, kepalanya agak menunduk namun matanya tetap awas. Sang Penjaga arti namanya dalam bahasa Indonesia, disadur dari bahasa Jerman.
Aku tak lagi berada dalam dialog dan argumentasi bodong, setidaknya fokusku dan jiwaku telah berpindah tempat ke samping Sang Penjaga, fisikku saja yg tetap berada di tengah-tengah pusaran dialektika ala mahasiswa tingkat akhir, sok kritis namun pragmatis. Aku masih ingat betul malam itu pertama kali berbicang dengan Sang Penjaga, datang menawarkan satu film untuk diteliti menggunakan analisis semiotika. Dan singkat kata, sebenarnya ini adalah alibi karena aku banyak lupa tentang pertemuan-pertemuan selanjutnya dengan Sang Penjaga, mengakhiri skripsinya dengan bla..bla..blaa..feminisme. Aghhh...aku tak tahu, mengapa setiap wanita yang berbicara tentang emansipasi dan diskriminasi gender, selalu cantik dan seksi di mataku. 
Pagi itu, setelah muak dengan dialog-dialog tanpa ujung aku beranjak dari kursi dan melangkahkan kaki menuju Sang Penjaga. Bukan untuk bercinta apalagi bersenggama, aku hanya ingin melihat mata dan senyum simpul bibirnya. Dua kenikmatan ala sufi jadi-jadian, bagai ejakulasi ibadah pertemuan dengan causa prima. Semakin jauh kulangkahkan kaki menujunya, semakin dekat perpisahan ini dan semakin terang wajahnya terlihat semakin suram pula waktu bersamanya. Meghan Trainor dalam lirik salah satu lagunya, I'am gonna love you like i'am gonna lose you, i'am gonna hold you like i'am gonna say goodbye...Persis, pertemuan itu menjadi tanda spasi yang tak diketahui kapan kata atau kalimat baru akan terangkai. 
Aku juga ingat ketika Sang Penjaga pertama kali kutawarkan single origin, ini adalah pengalaman pertamanya mensruput. Dan benar saja, kening mengkerut lidah seakan ingin keluar dari pangkalnya dan mata itu tak nampak lagi karena tertutup menahan pahit. Katanya "tidak enak kak...pahit"! Seperti aku ingin mengatakan juga padanya saat ini, "tragis dek...segala waktu kita berbagi kau lihat sebatas profesi, bukan manusia". Seringakali kita memang terjebak dalam simbolisasi budaya yang termapankan oleh warisan-warisan kuno orang tua. Pekerjaan adalah PNS, kemeja berdasi dan berpantofel adalah profesi dan diriku hanyalah...aggghhh sudahlah, jatuh cinta tidak mengenal sesal. 
Kembali pada pagi itu, pertemuan dengannya pun berlalu begitu saja. Saling sapa, saling senyum dan saling tatap tanpa kemerdekaan dengan penundukkan oleh status sosial. Sialnya lagi, seperti para pewaris kejayaan yg berdemonstrasi depan pagar DPR keyakinan akan kebenaran yang datang hanya utopis karena senyum itu adalah konstruksi diri identitas sosial yg terabaikan. Kemudian, dialog sekelompok primata berakal, pembaca tanda dan pencari definisi mulai meninggi. Sepertinya ada sesuatu yang ramai sangat menjadi buah bibir, sehingga tekanan dan tegangan menjadi voltase-voltase sutet. Sutet...? Sempat ramai memang di kota ini dibicarakan, menjadi biang dari kerok padamnya listrik hingga beberapa minggu dari sebuah kota berstatus Kawasan Ekonomi Khusus. Tapi sepertinya, bukan sutet yang menggelorakan semangat individualis kelompok menengah kampret ini. Apa...apa yg menjadi topik sehingga mereka memerah seperti jas almamater kampus nan sohor di selatan sana yang bagi beberapa orang dungu penolak pembaharu tidak pantas di kampus kaktus ini. Apa yg menjadi sebab orang-orang di kelompok itu menjadi seakan-akan ahli...topik atau tema apakah itu...Kulangkahkan kaki lebih dekat dengan rasa penasaran yg berkecamuk seperti para korban yang dituduh komunis, diculik, ditembak dan di buang pada laut-laut lepas negeri ini atau rasa penasaran ini lebih mirip rasa penasaran seorang gadis manis kecil berhijab nan anggun pada makna teks-teks puisi pujangga abal-abal yang begitu lihai memanipulasi rasa menjadi aksara kata penuh romansa. Wujudku semakin dekat kembali pulang pada dialog kelompok ini, dan argumentasi yang terdengar sangat jelas pertama kali adalah "ini bukan cinta, ini lebih dari sekedar cinta".
Menarik dan sungguh penuh emosi, setiap orang di kelompok itu memiliki pandangan berbeda-beda mengenai cinta. Ada yg bilang cinta adalah pengorbanan, setelah mengeluh karena paket kuota internetnya hampir habis. Semalam katanya hampir dua jam dia video call dengan kekasihnya. Ada yg bilang cinta itu tidak memandang status, sembari merapikan lengan bajunya yang panjang karena sudah agak turun, karena penampilan selalu merepresentasikan status. Ada yg bilang cinta itu datangnya tiba-tiba, padahal kabar yang terdengar dia sedang mendekati seorang gadis yang bulan ini genap 6 bulan masa pendekatannya. Yang satu lagi berkata cinta itu adalah misteri, mengkritik beberapa pendapat sebelumnya walau sebenanya hal itu adalah pembelaan dari luasnya definisi cinta. Aku sendiri terjebak pada pengertian yang selama ini aku pahami bahwa cinta itu bukan karena melainkan walaupun. Iya, seperi kopi yang siap menjadi ampas untuk mejawab binalnya lidah para pecandu kopi dan seperi aku yang siap menjadi lelucon walaupun Sang Penjaga tidak pernah benar-benar menjadi. 

Langit berduka pada apa yang tidak ia ketahui. 
Hujan turun saja, menjadi basah karena sesuatu yang terjaga
Tanah subur ketika, pada pohon yang tumbuh dimana saja.
Cinta pergi saja pada diri yang abai pada kuasaNya. 

                                                                                                                                                 Trinarta

Comments

TERPOPULER

Laplace’s Demon: sang Iblis yang Deterministik

Tersebutlah nama sesosok iblis. Iblis itu dikenal sebagai Laplace’s Demon , satu sosok intelegensia yang dipostulatkan oleh Pierre Simon de Laplace . Laplace—seorang ahli matematika Perancis abad ke-18 —menulis sebuah esai, Essai philosophique sur les probabilités pada tahun 1814 . Dalam esai itu, Laplace mempostulatkan adanya suatu sosok intelegensi yang memiliki pengetahuan tentang posisi, kecepatan, arah, dan kekuatan semua partikel di alam semesta pada satu waktu. Intelegensi ini sanggup memprediksi dengan satu formula saja seluruh masa depan maupun masa lampau . Laplace's Demon Linocut - History of Science, Imaginary Friend of Science Collection, Pierre-Simon Laplace, Mathematics Physics Daemon Space ( https://www.etsy.com/listing/74889917/laplaces-demon-linocut-history-of) Laplace berpendapat, kondisi alam semesta saat ini merupakan efek dari kondisi sebelumnya, sekaligus merupakan penyebab kondisi berikutnya. Dengan begitu, jika kondisi alam semesta pada saat penci

Katanya.......

Katanya Dekati dulu Tuhannya baru dekati ciptaan-Nya Jodoh itu cerminan dari diri sendiri Yang baik hanyalah untuk yang baik pula Pantaskan diri sebelum mencari Dalam ikhiarku mencari mu, tertera hasrat yang menderu pada seseorang yang tak kutahu siapa dan dimana saat ini berada Aku hanya merasakan rindu tapi entah pada siapa Tahukah, engkau adalah alasan mengapa kuaktifkan radar ini Radar yang mencari sinyal melalui tengadah doa Mengiba pada Allah untuk mendekatkan pertemuan dengan cara memantaskan diri Radar yang telah aktif mencari sinyal yang seirama Sefrekuensi untuk dapat dijumpakan dengan caraNya Jika aku baik, maka aku akan dipertemukan dengan yang baik Jika aku buruk, maka aku akan dipertemukan dengan yang buruk Kuaktifkan radar ini dengan memantaskan diri sebaik mungkin Cinta adalah anugerah Merasakannya adalah fitrah Menjaganya adalah ibadah Karena jatuh cinta adalah mubah Maka menyikapinya bisa menjadi pahala berlimpah Atau j

Daynolie.

Sabtu dini hari,  waktunya rehat sejenak setelah rutinitas dan tidak ada kata reuni dengan seisi mini bar kedai kopi sudut kota, duduk termenung berharap orang orang baru akan datang mengakrabkan diri sampai pada pagi hari pun tiba.. Tak kunjung ada, motor tua itu serasa melambaikan tangan nya memanggil ku.. Tak patut di acuhkan, ku kendarai dia menyusuri malam sembari tersenyum lepas dengan beberapa kata kata bernada ku teriakan tanpa sadar.. "inilah jalan jalan tanpa kenangan manis, seakan semuanya harus terasa manis. Semanis kisah cinta muda mudi " Jalanan tak terlalu sepi, motor tua antik bertenaga muda.. Pengemudi muda, tersobsesi untuk tidak akan takut pada apapun bahkan pada kematian menurutnya itu adalah jawaban... Malam itu lebih tenang sedikit remang dari lampu lampu yang bersandar di sudut sudut bangunan kota sebagai simbol simbol modernisasi. Tak ada ragu, tak ada pilu, tak ada juga sesak di dada karena ada yang harus di kejar ataupun di buru, apalagi ketaku