Skip to main content

Membongkar Mitos Crows Zero



Sumber : Googgle
Seperti biasa, pada malam-malam sebelumnya tempat ini menyisahkan beberapa pasang mata yang siap menantang matahari terbit sembari menemani bulan yang diacuhkan oleh sang bintang. Pembicaraan mengenai hal-hal remeh temeh seperti beberapa sosok yang selalu jadi bahan bully hingga konteks agama yang selalu seksi membangkitkan gairah intelektual kaum menengah ngehek disini. Hingga kemudian seorang pria separuh baya membawa kegelisahan ditengah desahan dan pekik tawa canda khas orang urban. Kegelisahan itu bernama mitos dan ideologi budaya Jepang dalam Film Crows Zero. Hmmm…sepertinya, kapal ini siap untuk berangkat, berlayar mengarungi samudera intelektual melalui diskusi dini berbalut semiotika film.

Dimulai dengan ketidaksepakatan pria paruh baya mengenai pandangan awam bahwa Crows Zero hanya menonjolkan adegan-adegan kekerasan dan tidak mendidik. Apalagi, adegan-adegan tersebut banyak dilakukakan dalam lingkungan pendidikan formal.  Menurut pria paru baya tersebut, setiap film memiliki hidden agenda dan seringkali mengandung unsur-unsur ideologi, termasuk bagaimana Crows Zero mengadung nilai ideologi budaya Jepang. Mendengar hal ini, aku sedikit merapatkan kursi ke meja, berharap dapat fokus pada argumentasi sang pria paru baya. Beberapa yang lainnya, sedikit memperbaiki posisi duduk dan yang lainnya agak mengerutkan dahi.  
Sang pria paruh baya kemudian melanjutkan argumentasinya, sembari sesekali menghisap rokok yang hampir menjadi puntung di sela jari tengah dan telunjuknya. Menurutnya, beberapa tokoh utama dalam Crows Zero mewakili karakter kepemimpinan masyarakat Jepang dan selalu bersinggungan dengan budaya dan sejarah Jepang pada masa lalu. “Sejarah Jepang sebelum restorasi Meiji, dipimpin oleh banyak Shogun dan yang paling ternama adalah Shogun Tokugawa. Shogun Tokugawa seringkali mengadakan invasi pada daerah-daerah yang dikuasai oleh Shogun lain,” ujarnya. Kali ini dia mensruput kopi single origin di depannya. Sang pria paruh baya melanjutkan, “setiap shogun tersebut memiliki seorang atau sekelompok samurai yang siap membela tuannya (shogun) hingga titik darah penghabisan. Apabila seorang samurai tidak sanggup menjaga tuannya dan meninggal, maka saat itu pula seorang samurai menjadi tidak bertuan, Ronin”. Perlahan tapi pasti, sekelompok kaum urban di tempat ini mulai agak maracu, tetapi pria paru baya tidak peduli. Mungkin saja dia beranggapan ada hal yang mesti diluruskan dalam menikmati film, karena film bukan hanya sebagai sarana hiburan diwaktu senggang, melainkan media penyampai pesan yang mesti dipahami dengan baik agar tidak terjebak pada konstruksi semu ala industrialisasi kapital. Untuk itu, sang pria memilih untuk tidak peduli pada hal-hal yang maracau dan melanjutkannya dengan analisis intersubyektivitas semiotika ala Roland.  “Mari kita telaah satu persatu” ujarnya. Pandangannya sedikit menoleh ke kiri kanan orang-orang di sekelilingnya. “Bagaimana sinergitas karakter kepemimpinan dalam film Crows Zero yang diwakili oleh Takiya Genji, Tamao Serizawa, Narumi Taiga dan Rindaman dengan karakter Kaisar Meiji, Shogun Tokugawa, Samurai dan Ronin”. Menurutnya, Takiya Genji merepresentasikan Kaisar Meiji yang membawa perubahan di Suzuran. Hampir sama dengan apa yang dibawa oleh Kaisar Meiji pada revolusi Jepang menuju modernisasi dan keterbukaan terhadap dunia luar.   
Bulan semakin terang saja, seakan senyum sumringah melihat birahi pria paruh baya bersenggama dengan analisis makna dalam perspektif ilmu tanda. “Perubahan selalu identik dengan pembaruan, dan hal itulah yang dibawa oleh Kaisar Meiji setelah runtuhnya keshogunan Tokugawa”, membara bicaranya seperti bilah besi yang sedang dipandai oleh sang ahli.  “Tamao Serizawa merepresentasikan masa keshogunan Tokugawa dimana dalam Crows Zero Serizawa adalah pemimpin tertinggi sebelum kedatangan Takiya Genji. Serizawa dan Tokugawa sama-sama memiliki karakter yang otoriter dan seringkali melakukan penindasan terhadap kelompok-kelompok lain untuk mendapatkan kehormatan”, gerak kinesik tangannya tanpa disadari mengepal seakan pria ini punya dendam pribadi terhadap Tokugawa atau terhadap siapapun yang menindas orang lain. Pria paruh baya melanjutkan, kali ini emosinya dapat terkontrol dengan baik, “Narumi Taiga adalah sosok pemimpin dari kelompok berbeda (di luar suzuran), yang dapat dimaknai juga sebagai seorang Shogun hanya saja berbeda dengan karakter Shogun Tokugawa yang diwakili oleh Serizawa, Narumi Taiga lebih memiliki rasa hormat terhadap kelompok yang lain dan para tetua sebelumnya. Dapat diartikan Taiga merepresentasikan makna pemimpin yang mesti saling menghormati,” tenang rupanya namun dalam bagai samudera tatapan matanya. “Satu karakter lagi yakni Rindaman, yang dalam Crows Zero memiliki karakter yang mandiri, tidak bergabung dalam kelompok apapun tetapi tetap disegani. Kemandirian Rindaman dapat diartikan sebagai kemerdekaan dan kebebasan dimana dalam konteks budaya jepang hal ini dapat dilihat sebagai karakter seorang Ronin. Maka, Rindaman dimaknai sebagai pemimpin yang bebas dan tidak dapat dipengaruhi oleh apapun, mandiri dan berdikari,” pria paruh baya melepaskan sebatang rokok dari cangkangnya, menempatkan pada bibirnya yang hitam dan membakarnya perlahan. Hisapan pertama, asapnya begitu ngebul walau tidak sebanyak asap dari uap pembakaran liquid vape.
Pria paruh baya terus saja berceloteh dan tak terasa bunyi-bunyian berkumandang dan bersahut-sahutan dari satu menara speaker ke ruang dengar kelompok urban kota ini. Dan pada akhirnya, pria paruh baya ini menutup dengan ikhlas argumentasinya dengan tatap penuh harap, “Membedah Crows Zero sebagai representasi gaya kepemimpinan melahirkan mitos kekinian mengenai pemimpin dalam masyarakat Jepang. Mitos ini dalam pandangan Roland Barthez merupakan sebuah sistem tanda yang tidak terpisah dari tinjauan-tinjauan historis mengenai budaya dan ideologi massyarakat. Dapat dikatakan bahwa Crows Zero mengkonstruksi mitos dan ideologi kepemimpinan dalam masyarakat Jepang yang diwakili oleh Takiya Genji sebagai pembawa perubahan dan pembaharu, Tamao Serizawa pemimpin yang mampu mempersatukan perbedaan, Narumi Taiga yang membawa pesan kehormatan dan Rindaman sebagai pemimpin yang mandiri dan berdikari.”
Dan akhirnya bulan mencapai titik klimaks, seakan ingin berterimkasih atas kenikmatan senggama malam ini. Seandainya bulan bisa berbicara mungkin dia akan berkata “kini aku ikhlas tergantikan oleh cahaya kota di garis khatulistiwa ini. Tapi tenang, aku akan lebih seksi lagi untuk malam-malam berikutnya. Oh iya, aku sayang kamu wahai pria paruh baya”. Dan bulan pun tertidur pulas dalam mitos putra matahari penjewantahan kaisar Jepang. 

Write by   : Alam
Edit by     :Trinarta

Comments

  1. Gaya bahasa nya agak vulgar ya tapi materi tulisannya beneran bagus sesuatu yang dalam

    ReplyDelete

Post a Comment

TERPOPULER

Ketika 'Sistem' Terus Bermasalah

Ketika aku bahkan takut untuk datang ke sekolah. Walau doktrin 'menuntut ilmu adalah ibadah' terus terngiang. Betapa buruknya tempat itu bak hanntu di pagi buta yang terus membuatku bermimpi buruk. Ketika aku merasa bahkan pintar dan rajin tidak cukup untuk menang di negaraku sendiri. Ketika uang adalah 'RAJA'. Maka tinggalah diri diperbudak olehnya. Manusia bahkan tunduk pada apa yanng diciptakannya. Sampai ilmu yang seharusnya mulia harus te rnista oleh segala dusta. Berbuah malapetaka. Ketika nantinya akan terlihat betapa bobroknya sistem ini. Yang terus memaki dan memaki kami untuk pintar, bukan berkarakter. Menekankan pada nilai yang bahkan bukan bidang yang kami inginkan. Sistem yang membudaki para siswa bertenaga kuda untuk terus bekerja. Sementara para keledai hanya duduk manis di singgasana, menunggu si kuda membawa nilai yang bagus pada mereka. Dimana yang katanya pejuang Hak asasi? Omong kosong tanpa arti. Cukulah teori tanpa aksi. Sedikit rasa ke...

Pramoedya dan Feodalisme Pendidikan

Tulisan ini saya buat ketika pelajaran sosiologi, dan saya menulis catatan ini bukan tanpa alasan, mungkin tulisan ini adalah fase klimaks kegelisahan saya melihat kondusifitas sistem pendidikan disekitar kita. Seringkali saya bertanya kepada diri saya “Mengapa di era post feodalisme ini masih ada, guru yang marah membabi buta di depan kelas kepada siswanya yang melakukan kesalahan padahal hanya sebatas kesalahan kecil ? (bukankah dalam membangun karakter siswa harus mengedepankan nilai construction in education, bukan malah memberikan punishment yang berlebihan ?) . “apakah mau seorang guru ditegur murid ketika ia melakukan kesalahan?” , juga masih ada guru yang menjawab “Untuk saat ini anda belum saatnya tahu hal itu” ketika ada murid yang bertanya sesuatu yang terlalu expert jenis pertanyaannya (ya, saya mengerti memang mungkin belum saatnya atau bukan porsinya tapi apakah salah seorang guru paling tidak menjelaskan gambaran umumnya saja? ) Cerita paling ironis ketika ada seorang...

Beranjaklah

kisah mengukir hati relung yang terdalam, mengendap seperti pencuri pagi siang dan malam .. menunggu merpati bawa berita baru duduk dingin pada sebuah bangku taman .. terus saja menebak langkah kaki siapa gerangan yang datang.. hujan selalu menasehati bawalah payung ketika bepergian supaya langkah tak tersendat, supaya tak selalu berteduh di tempat asing melulu.. tanah selalu basah tanpa pohon, tat kala manusia berpayung agar terteduhkan dan tak basah seketika.. di antara ragam rupa warna daun.. menguning dan basah batangnya terlalu rapuh untuk menunggu musim gugur bertiup hening .. naluri tak cukup tentang rasa, seperti tentang sikap pula perlahan seimbang antara ruas pada jeruji hati,, bahkan ketika tubuh berkehendak atas jiwa! aku ada pada lukisan yang kau kunjungi dalam galeri pameran aku ada dalam setiap irama lawas pengusik kenangan aku meledak melesat menjauh ketika egomu berteriak kesakitan, aku ada sebagaimana cakrawala memisahkan air, membentuk lautan dan awan-aw...