Skip to main content

Doa Tukang Seduh Kopi Dari Balik Mini Bar

Salam sejahtera kawan-kawan, dan semua kegetiran kalian ketika melihat polantas di perempatan lampu merah. Berbincang dari balik mini bar dengan seorang gadis, rasa-rasanya aku ingin menambah jaga siftnya saja sampai pagi, atau andai bisa aku bunuh saja matahari sehingga tak ada alasan untuk meninggalkannya di ujung gang. Uppzzz…cukup, karena inti dari tulisan ini bukan aku yang penuh harap dengannya melainkan ingin membedah fenomena tempat ini menjelang dini hari, ketika semua orang wajahnya begitu terang karena pantulan bias cahaya layar 6 hingga 14 inci. Dari balik mini bar ini, hanya kami berdua yang seutuhnya menjadi manusia dengan perbincangan hangat dan benar-benar ‘real’ sedang yang lainnya, sibuk dengan dunia virtualnya.

Fenomena ini mungkin seringkali kawan-kawan temukan di luar sana, ketika harapan begitu besar pada mereka yang mengaku teman, sahabat atau juga musuh kini terkalahkan oleh layar bersinar lalu kalian mulai merasa sendiri dan akhirnya mencoba untuk melampiaskannya di dinding-dinding medsos. Dan seketika, kalian menemukan apa yang hilang selama ini di sana, Iya di satu tempat bernama media sosial. Selamat datang di dunia virtual yang seringkali kepalsuan dan kepura-puraan menjadi komoditas. 

Berbicara mengenai media sosial, sepertinya tidak akan ada habisnya….Seperti berbicara mengenai cinta yang akan berujung pada ‘beceknya’ selangkangan, eros yang tak terbendung oleh super ego. Setiap hari mungkin ada saja aplikasi terbaru yang berseliweran di dinding-dinding smartphone kita atau notifikasi aplikasi yang minta untuk diperbarui. Berkenaan dengan hal terbaru tersebut, aplikasi Bigo Live hari ini mungkin menjadi salah satu yang teratas diantara aplikasi sosial media yang digunakan oleh netizen. Iya, Bigo Live hadir dengan menawarkan konsep visual melalui kamera dan interaksi melalui chat secara langsung. Seperti pada umumnya, beberapa pengguna aktif Bigo Live di tempat ini mengatakan bahwa motif awalnya adalah rasa penasaran dengan aplikasi ini, lalu beberapa jawaban normatif muncul sebagai penambah relasi pertemanan, jaringan, mendapatkan informasi atau berbagi hingga pengisi waktu luang. Lalu kemudian, jawaban-jawaban lebih spesifik muncul, seperti bagaimana Bigo Live dapat menambah pund-pundi rupiah dan akhirnya memunculkan fenomena virtual seks di dalamnya.

 Oke, dalam perspektif seperti ini kita tidak dapat abaikan bahwa Bigo Live dan media sosial pada umumnya merupakan ruang publik yang dikatakan oleh Jurgen Hubermas sebagai akomodasi yang memfasilitasi masyarakat untuk berkelompok dan membicarakan apa saja tanpa adanya intervensi dari negara. Berat yaghhh…sederhananya begini, seringkali dalam kelompok-kelompok kecil kita tercipta batasan-batasan yang membuat kita untuk segan dan pasif dalam menyampaikan ide atau gagasan. Dalam Bigo Live, batasan tersebut ditiadakan atau dilonggarkan sehingga setiap anggota kelompok dapat secara ‘bebas’ berekspresi. Yaghh..walaupun Bigo Live punya kebijakan banned  untuk anggotanya yang mulai ‘kurang ajar’ seperti, menunjukkan belahan dada, merokok dan berbagai hal lainnya tetapi banned tersebut hanya bersifat sementara dan sama sekali dikatakan bukan sebagai bentuk intervensi.

Naghhh, kalo sudah begini seringkali media sosial terutama Bigo Live lebih dipercaya dapat memfasilitasi hasrat manusia dalam berkelompok. Apalagi ketika kita hubungkan dengan paham demokrasi, dimana setiap orang memiliki kesempatan yang sama untuk berpartisipasi dan menyampaikan idenya. Selain itu, akhir-akhir ini disekitar kita banyak pembungkaman yang dilakukan oleh kelompok-kelompok mayoritas kepada minoritas atas ide-ide yang mereka anggap bertentangan. Aneka ragam pembungkaman tersebut berlangsung di ruang publik, tempat dimana terjadi percakapan antara kelompok maupun individu masyarakat, baik yang minoritas maupun mayoritas. Di Bigo Live, pembungkaman tersebut malah menjadi ‘keanehan’. Artinya, Bigo Live secara tidak langsung memberikan kepuasan diri terhadap penggunanya dalam berinteraksi yang mungkin tidak didapatkan dalam dunia ‘real’. Kata Dennis Mc Quail sih, kepuasan dan motif terhadap penggunaan media beranjak pada adanya permasalahan  faktor psikologis yang dirasakan oleh individu di lingkungan sosial dan media digunakan untuk menanggulangi masalah itu (pemuas kebutuhan).

Terakhir nih…cuman mau bilang, berapapun banyak gift berupa diamond dan beans yang diperoleh dari Bigo Live, ngga akan mampu menggantikan seorang kawan, walaupun kawan tersebut akan meninggalkanmu demi diamond dan beans juga. Karena, kawan dan relasi itu tidak bersifat temporari, semacam halnya aplikasi yang setiap saat bisa tergantikan dengan aplikasi yang lebih canggih. Kemarin ditinggalin gara-gara Friendster, terus datang kemudian hilang lagi karena si Facebook, terus ngopi bareng lagi dan hilang lagi gara-gara twitter, terus diduakan oleh path, instagram dan akhirnya selingkuh dengan Bigo…Ya Tuhan, berikan aku kesabaran dan kekuatan untuk tetap setia menunggu mereka walau hanya dengan setengah bungkus rokok dan secangkir kopi robusta.

Writeed By     : Trinarta



Comments

TERPOPULER

Ketika 'Sistem' Terus Bermasalah

Ketika aku bahkan takut untuk datang ke sekolah. Walau doktrin 'menuntut ilmu adalah ibadah' terus terngiang. Betapa buruknya tempat itu bak hanntu di pagi buta yang terus membuatku bermimpi buruk. Ketika aku merasa bahkan pintar dan rajin tidak cukup untuk menang di negaraku sendiri. Ketika uang adalah 'RAJA'. Maka tinggalah diri diperbudak olehnya. Manusia bahkan tunduk pada apa yanng diciptakannya. Sampai ilmu yang seharusnya mulia harus te rnista oleh segala dusta. Berbuah malapetaka. Ketika nantinya akan terlihat betapa bobroknya sistem ini. Yang terus memaki dan memaki kami untuk pintar, bukan berkarakter. Menekankan pada nilai yang bahkan bukan bidang yang kami inginkan. Sistem yang membudaki para siswa bertenaga kuda untuk terus bekerja. Sementara para keledai hanya duduk manis di singgasana, menunggu si kuda membawa nilai yang bagus pada mereka. Dimana yang katanya pejuang Hak asasi? Omong kosong tanpa arti. Cukulah teori tanpa aksi. Sedikit rasa ke...

Pramoedya dan Feodalisme Pendidikan

Tulisan ini saya buat ketika pelajaran sosiologi, dan saya menulis catatan ini bukan tanpa alasan, mungkin tulisan ini adalah fase klimaks kegelisahan saya melihat kondusifitas sistem pendidikan disekitar kita. Seringkali saya bertanya kepada diri saya “Mengapa di era post feodalisme ini masih ada, guru yang marah membabi buta di depan kelas kepada siswanya yang melakukan kesalahan padahal hanya sebatas kesalahan kecil ? (bukankah dalam membangun karakter siswa harus mengedepankan nilai construction in education, bukan malah memberikan punishment yang berlebihan ?) . “apakah mau seorang guru ditegur murid ketika ia melakukan kesalahan?” , juga masih ada guru yang menjawab “Untuk saat ini anda belum saatnya tahu hal itu” ketika ada murid yang bertanya sesuatu yang terlalu expert jenis pertanyaannya (ya, saya mengerti memang mungkin belum saatnya atau bukan porsinya tapi apakah salah seorang guru paling tidak menjelaskan gambaran umumnya saja? ) Cerita paling ironis ketika ada seorang...

Dialektika Bodong Ala Mahasiswa Tingkat Akhir

Ramai riuh bincang hangat dengan beberapa gelas kopi plastik pagi itu menandai hari ini-beberapa jam kemudian mungkin akan seperti biasanya. Negara, moralitas, agama dan etika menjadi buah bibir bincang kala itu. Negara telah lalai, lepas tangan dan seolah-olah buta dalam banyak hal, seperti lembaga pendidikan yg saat ini ibarat pabrik-pabrik penghasil produk tenaga kerja yg tunduk pada konglomerasi kapitalis, negara melegalkan PTN-BH. Moralitas juga semakin jauh dari induknya, moral. Teknologi diklaim sebagai asbabun wujud tindakan amoral, ayah menghamili anak kandung, anak menikam ibunya, ibu membunuh rahim sampai cekcok tetangga yang akhirnya menjadi perkelahian massal antar kampung. Berbeda dengan agama yang hadir dalam kemasan baru, berbungkus penistaan, agama dijadikan alat untuk memfasilitas birahi kekuasaan seseorang, kelompok atau mungkin Tuhan. Padahal, Tuhan sama sekali tidak minta dan tidak butuh untuk dibela. Lalu etika menjadi alasan mengapa sebagian dari mereka mempra...