Skip to main content

Jadi Bajingan

Kalau sedang jatuh cinta, realitas bisa jadi serba hiperbolik. Fakta-fakta empiris sering pula diabaikan. Banyak penyair sudah membahasakan ini. Dari Giring Nidji hingga Sapardi, cinta pernah dibahasakan dengan beragam jenis kata dan melodi.

Ketika jatuh cinta, akan muncul perasaan senang sampai kecemasan. Cemas, bukan takut. Sesuatu yang menggelisahkan dan tak jelas objeknya. Atas nama penulis Vigilius Haufniensis, filsuf Kierkegaard menulis bahwa kecemasan, misalnya dialami seorang laki-laki yang berdiri di tepi sebuah gedung tinggi atau tebing menghadap jurang.

Laki-laki itu merasa cemas. Saat itu, ia mengalami rasa takut terlempar masuk ke dalam jurang dan tewas mengenaskan, tapi pada saat yang sama, dalam lubuk hatinya, sang laki-laki merasa punya dorongan untuk sengaja melemparkan diri ke jurang.

Perasaan cemas itu tak lain adalah akibat dari kebebasan. Manusia punya kebebasan untuk memilih masa depan. Laki-laki di tepi jurang punya kebebasan penuh untuk memilih untuk membuang diri atau tetap tinggal. Manusia punya banyak kemungkinan, bahkan kemungkinan untuk memilih hal yang paling buruk—yang kemudian memicu rasa ketakutan.

Tampaknya pantas kalau dikatakan bahwa kecemasan adalah sumber refleksi. Jika jatuh cinta menciptakan kecemasan-kecemasan itu, maka untuk menjadi produktif, seseorang perlu jatuh cinta. Atau patah hati, sebetulnya. Jatuh cinta berkali-kali itu mungkin, namun patah hati berkali-kali, hanya seorang masokis yang sanggup menjalaninya.

Hidup yang reflektif memang membutuhkan produktivitas yang sadar, sebab kata ‘produktif’ itu sensitif sejak revolusi industri. Produktif yang dimaksud di sini adalah bukan produktif sebagai mesin, tapi sebagai manusia yang bergulat dengan kegelisahan; yang berkarya dari absurdnya kehidupan.

Kita perlu jatuh cinta terus untuk menjadi cemas, kemudian berkarya—apapun bentuknya. Mungkin terlalu naif, namun masuk akal kalau kita mencari hidup yang aman-aman saja.

Pada titik ekstrem, dipikir-pikir, cinta juga bisa seperti mesin. Manusia jatuh cinta, patah hati, jatuh cinta, jatuh cinta untuk beberapa objek yang berbeda, patah hati dan seterusnya… Jangan-jangan suatu hari kebiasaan bertemu cinta membuat kita kebal. Cinta jadi tak bermakna lagi. Pada titik itu, rasanya produktif berkarya sudah tidak mungkin lagi.

Mungkin memang hidup yang datar-datar saja itu perlu. Waktu senggang dan kemalasan itu adalah anugerah. Manusia perlu kosong, untuk kemudian terisi. Manusia perlu terisi, untuk kemudian banyak menuang ide dan inspirasi.

Alih-alih menjadi pahlawan melulu, mungkin di masa-masa tertentu, manusia perlu jadi bajingan.

AA


Comments

TERPOPULER

Laplace’s Demon: sang Iblis yang Deterministik

Tersebutlah nama sesosok iblis. Iblis itu dikenal sebagai Laplace’s Demon , satu sosok intelegensia yang dipostulatkan oleh Pierre Simon de Laplace . Laplace—seorang ahli matematika Perancis abad ke-18 —menulis sebuah esai, Essai philosophique sur les probabilités pada tahun 1814 . Dalam esai itu, Laplace mempostulatkan adanya suatu sosok intelegensi yang memiliki pengetahuan tentang posisi, kecepatan, arah, dan kekuatan semua partikel di alam semesta pada satu waktu. Intelegensi ini sanggup memprediksi dengan satu formula saja seluruh masa depan maupun masa lampau . Laplace's Demon Linocut - History of Science, Imaginary Friend of Science Collection, Pierre-Simon Laplace, Mathematics Physics Daemon Space ( https://www.etsy.com/listing/74889917/laplaces-demon-linocut-history-of) Laplace berpendapat, kondisi alam semesta saat ini merupakan efek dari kondisi sebelumnya, sekaligus merupakan penyebab kondisi berikutnya. Dengan begitu, jika kondisi alam semesta pada saat penci...

Single Origin..

Duduk hening di dalam mini barr Coffee shop, terpaku akan panggilan beberapa biji kopi yang bersemayam dalam toples,  mereka seakan bersajak ingin di seduh.. Hujan... Dalam dingin nya malam aku menantikan perempuan yang biasa menemani ku minum kopi sampai mentari menunjukkan wujud nya.. Berbicara tentang hal yang bukan tentang kita tapi kadang juga sesekali dia tersenyum dan memalingkan wajah nya yang kecil itu sembari menunjukkan ketajaman berpikir layaknya para filsuf terdahulu.. Kisahnya mengingat kan ku pada suatu masa dimana dulu aku  tak percaya pada satu hal yang selalu menjadi salah satu tujuan semua manusia.. Terlalu lama menunggunya, kopinya membeku dan tak mau mencair! dan apa yang tak ku ketahui banyak tentang nya menjadi pudar karena dia terlalu banyak melewati persimpangan jalan sebelum akhirnya dia sampai di depan mini barr dengan rentetan toples-toples berisikan kopi.. Jangan lupa kembali ke kota ini sang penikmat kopi tubruk...! Senja.

Membongkar Mitos Crows Zero

Sumber : Googgle Seperti biasa, pada malam-malam sebelumnya tempat ini menyisahkan beberapa pasang mata yang siap menantang matahari terbit sembari menemani bulan yang diacuhkan oleh sang bintang. Pembicaraan mengenai hal-hal remeh temeh seperti beberapa sosok yang selalu jadi bahan bully hingga konteks agama yang selalu seksi membangkitkan gairah intelektual kaum menengah ngehek disini. Hingga kemudian seorang pria separuh baya membawa kegelisahan ditengah desahan dan pekik tawa canda khas orang urban. Kegelisahan itu bernama mitos dan ideologi budaya Jepang dalam Film Crows Zero. Hmmm…sepertinya, kapal ini siap untuk berangkat, berlayar mengarungi samudera intelektual melalui diskusi dini berbalut semiotika film. Dimulai dengan ketidaksepakatan pria paruh baya mengenai pandangan awam bahwa Crows Zero hanya menonjolkan adegan-adegan kekerasan dan tidak mendidik. Apalagi, adegan-adegan tersebut banyak dilakukakan dalam lingkungan pendidikan formal.  Menurut pria par...