Skip to main content

Buku Punya Bersama


Sebuah buku tergeletak di meja. Ia benda mati yang terlihat sungguh tak punya daya. Beberapa bagiannya yang kusam seperti tanda-tanda kematiannya. Bahkan benda mati pun tahu persis kapan waktu ia menjemput ajalnya. Buku itu tak punya ekspresi. Berbelas pasang mata melihatnya sambil lalu saja. Luka saja tidak mampu ia ciptakan, apalagi kebahagiaan. Pada pokoknya, ada kalanya, ia yang tergeletak itu seakan bukan bagian dari kehidupan.

“Eh, buku siapa itu? Bagus tuh.” Kemudian kejelian mata seorang gadis menyulap situasi.

“Buku saya, kakak.” Tetiba eksistensi seseorang diubah dari kepemilikannya. Aku punya, maka aku ada. Aku punya buku, kau tak punya. Di awal percakapan dua orang, sebuah buku sedang diberi nyawa.

“Boleh dipinjam ya? Saya sudah lama ingin baca.” Nyawa buku semakin penuh. Kalau boleh ia punya ekspresi, mungkin ia akan mengembangkan senyum paling jumawa.

“Kenapa tidak beli?”

“Ah, baca kan cuma sebentar. Saya pinjam saja ya. Buku ini punya bersama kan?”

Lawan bicara tidak bisa menolak. Di satu sisi, pinjam-meminjam adalah perkara hal paling dasar dalam sejarah peradaban, yaitu hak atas benda. Namun di lain sisi, telah terjadi pula degradasi makna buku sebagai sumber pengetahuan.

Buku yang tergeletak di meja itu bagaikan milik bersama. Ia terbuka pada segala kemungkinan, termasuk jika dia diambil oleh seseorang, dibawa pulang, dan dijadikan hak milik. Buku yang tergeletak adalah common good atau public interest. Siapapun bisa saja mengambilnya, membacanya, mencoretnya, bahkan memakainya untuk melempar kucing liar. Ia bisa menjadi penting ketika seorang manusia menggunakannya untuk memenuhi kebutuhannya dengan sadar.

Sebagian besar bahasan tentang common good memang non sense. Cenderung bullshit, malah. Common good sesungguhnya hanyalah persoalan sejumlah manusia yang berkumpul. Ia bisa jadi merupakan kelompok kesukuan, atau kelompok masyarakat. Pokoknya, tak ada tubuh yang terepresentasikan dalam common good. Memangnya ada, sekelompok kepala yang sepakat akan kebaikan--baik konsep maupun praktik? Memangnya kebaikan itu tidak menciut dan tereduksi?

Kalau ditimbang-timbang, kata good hanya bisa dimiliki oleh manusia. Kurang objektif kalau bicara kebaikan tanpa tubuh. Terlalu abstrak kalau kebaikan dipandang hanya cuma persoalan ikatan segerombolan manusia. Masyarakat itu tidak bertubuh, masyarakat itu sebatas ikatan. Ia tidak punya satu identitas. Kebaikan hanya sepenuhnya masuk akal kalau dikandung oleh individu organisme hidup.

Kedengaran tidak bermakna? Memang iya. Namun justru karena common good itu konsep yang tidak berarti, kita bisa berpikir bagaimana memaknai kebaikan dari seorang manusia? Atau dalam konteks ini, kita bisa lihat, apakah seseorang memiliki hasrat yang mendalam pada buku, atau tidak?

Ketika kita sepakat bahwa buku yang tergeletak di tempat umum adalah bentuk dari kebaikan bersama, kita harus pula sepakat bahwa buku tak memiliki kandungan moral apapun. Buku baik sejauh individu menganggapnya berguna, namun ketika tak dipandang berarti, ia berada pada kematiannya sebagai pengada.

Menyedihkan jadi buku. Ia sering ada di tempat ramai, tapi kalau punya hati, tentulah ia entitas paling kesepian. Buku dipinjam, kemudian lupa dikembalikan. Manusia yang melepasnya pergi harus merelakannya karena lupa mencatat transaksi peminjaman. Sialnya, buku di sisi yang paling indah adalah penggerak kehidupan.

Hal paling mudah menghargai buku adalah tidak menjadikannya bangkai di tempat umum. Buku tidak layak dimiliki oleh bersama. Ketika ia menjadi milik bersama, ia bisa rusak seketika karena tak ada yang menjamin bahwa buku itu akan menerima perlakuan baik. Buku tidak mungkin dirawat hanya bermodalkan kebaikan bersama. Mereka yang bersama itu tak punya kebaikan. Hanya individu yang punya kebaikan.

Sekali lagi, common good, atau public interest itu bullshitKalau suatu hari ada ruang membaca yang menyediakan banyak buku, tempat itu mesti mengenyampingkan persoalan kebaikan bersama. Buku-buku yang berada di ruang publik, tempat orang lalu-lalang, tanpa jelas milik siapa, harus rela dibolak-balik orang-orang, diambil, bahkan dibawa pulang tanpa izin.

Di atas segala teori, sungguh sialan kalau buku sudah hilang entah ke mana.

Aura Asmaradana

Comments

TERPOPULER

Laplace’s Demon: sang Iblis yang Deterministik

Tersebutlah nama sesosok iblis. Iblis itu dikenal sebagai Laplace’s Demon , satu sosok intelegensia yang dipostulatkan oleh Pierre Simon de Laplace . Laplace—seorang ahli matematika Perancis abad ke-18 —menulis sebuah esai, Essai philosophique sur les probabilités pada tahun 1814 . Dalam esai itu, Laplace mempostulatkan adanya suatu sosok intelegensi yang memiliki pengetahuan tentang posisi, kecepatan, arah, dan kekuatan semua partikel di alam semesta pada satu waktu. Intelegensi ini sanggup memprediksi dengan satu formula saja seluruh masa depan maupun masa lampau . Laplace's Demon Linocut - History of Science, Imaginary Friend of Science Collection, Pierre-Simon Laplace, Mathematics Physics Daemon Space ( https://www.etsy.com/listing/74889917/laplaces-demon-linocut-history-of) Laplace berpendapat, kondisi alam semesta saat ini merupakan efek dari kondisi sebelumnya, sekaligus merupakan penyebab kondisi berikutnya. Dengan begitu, jika kondisi alam semesta pada saat penci...

Single Origin..

Duduk hening di dalam mini barr Coffee shop, terpaku akan panggilan beberapa biji kopi yang bersemayam dalam toples,  mereka seakan bersajak ingin di seduh.. Hujan... Dalam dingin nya malam aku menantikan perempuan yang biasa menemani ku minum kopi sampai mentari menunjukkan wujud nya.. Berbicara tentang hal yang bukan tentang kita tapi kadang juga sesekali dia tersenyum dan memalingkan wajah nya yang kecil itu sembari menunjukkan ketajaman berpikir layaknya para filsuf terdahulu.. Kisahnya mengingat kan ku pada suatu masa dimana dulu aku  tak percaya pada satu hal yang selalu menjadi salah satu tujuan semua manusia.. Terlalu lama menunggunya, kopinya membeku dan tak mau mencair! dan apa yang tak ku ketahui banyak tentang nya menjadi pudar karena dia terlalu banyak melewati persimpangan jalan sebelum akhirnya dia sampai di depan mini barr dengan rentetan toples-toples berisikan kopi.. Jangan lupa kembali ke kota ini sang penikmat kopi tubruk...! Senja.

Membongkar Mitos Crows Zero

Sumber : Googgle Seperti biasa, pada malam-malam sebelumnya tempat ini menyisahkan beberapa pasang mata yang siap menantang matahari terbit sembari menemani bulan yang diacuhkan oleh sang bintang. Pembicaraan mengenai hal-hal remeh temeh seperti beberapa sosok yang selalu jadi bahan bully hingga konteks agama yang selalu seksi membangkitkan gairah intelektual kaum menengah ngehek disini. Hingga kemudian seorang pria separuh baya membawa kegelisahan ditengah desahan dan pekik tawa canda khas orang urban. Kegelisahan itu bernama mitos dan ideologi budaya Jepang dalam Film Crows Zero. Hmmm…sepertinya, kapal ini siap untuk berangkat, berlayar mengarungi samudera intelektual melalui diskusi dini berbalut semiotika film. Dimulai dengan ketidaksepakatan pria paruh baya mengenai pandangan awam bahwa Crows Zero hanya menonjolkan adegan-adegan kekerasan dan tidak mendidik. Apalagi, adegan-adegan tersebut banyak dilakukakan dalam lingkungan pendidikan formal.  Menurut pria par...